Powered By Blogger

Jumat, 21 Februari 2014

BPJS, Dilema Sebuah Mimpi Bangsa.

Kesehatan dan pendidikan!! Bagi saya itu adalah dua tugas pokok tugas negara untuk memenuhinya. Tak peduli seberapa miskin suatu negara, ia harus berupaya memenuhi sesuai kemampuannya. Tak peduli seberapa liberal suatu negara, urusan pendidikan dan kesehatan negara tak boleh mencuci tangan dan menyerahkannya pada sistem pasar liberal. Yang punya uang memiliki akses ke pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan yang super, sedang yang miskin tak mampu menyentuh akses pendidikan dan harus menerima kenyataan bahwa pelayanan kesehatan adalah di luar jangkauan financial mereka.
Anda lalu bertanya mengapa negara harus terbebani dengan dua hal itu? Jelas, jawabannya adalah karena itulah alasan kita bernegara. Untuk apa kita berhimpun, menyatukan hati, merasa sebagai satu tanah air, dan mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa? Untuk apa kata merdeka kita tebus dengan tumpahan darah dan banyak airmata pendahulu kita? Sebab kita inginkan negara merdeka yang melindungi hak kesehatan dan pendidikan warganya. Negara yang tak menanggung domain kesehatan dan pendidikan warganya adalah negara sampah. 
"Oh Bung, Anda jangan menanyakan apa yang bisa negara berikan pada kita, tapi tanyakan apa yang bisa Bung bisa berikan pada negara?"
Sangat patriotik! tapi patetik. Ya, Anda harus berguna bagi negara, tapi negara juga harus berguna bagi Anda. Negara yang tak memberikan manfaat bagi warganya, percuma didirikan.
Saya tak pandai berbicara masalah pendidikan, itu jelas bukan domain saya. Sebagai awam saya hanya mengukur dari indikator, bahwa selama pendidikan dasar 9 tahun hanya masih menjadi bualan lama dan masih banyak anak-anak di pelosok yang tak kenal sekolah, masih banyak yang menjadi buruh, bahwa selama tembok perguruan tinggi (bahkan yang PTN) sekalipun semakin beraroma komersil dan hampir mustahil disentuh golongan miskin, selama itulah persepsi saya tidak berubah bahwa negara tidak menyediakan mekanisme "pendidilkan untuk semua."
Kembali ke urusan kesehatan, yang sedikit banyak saya tahu kenyataannya. Sebelumnya patut diketahui tahun ini, sejak Januari 2014 garis batas sistem kesehatan kita telah berevolusi. Pemerintah dengan berbusa-busa menetapkan tahun ini sebagai awal aplikasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), BPJS kesehatan. Sistem baru yang mengakhiri sistem lama Jamkesmas-ASKES. Suatu sistem baru yang diimpikan para perumus perundangan menjadi mimpi besar bangsa kita, bahwa setiap warga negara akan tercakup dalam suatu sistem kesehatan yang melindungi hak akses kesehatan warganya. Semuanya!! tak peduli miskin kaya, tua muda, alim ulama atau begundal, semua dilindungi hak kesehatannya melalui sistem asuransi kesehatan nasional bernama JKN.
Whoa....whoa....whoa......, hebat nian mimpinya, indah sekali idealismenya, dan gagah sekali republik ini berperan mengurusi warga negaranya yang sakit. Wait a second....!! di negara yang penuh tipu muslihat dan tipu-tipu ini adalah haram untuk percaya begitu saja atas mimpi indah yang menjadi nyata.
Ilustrasi mimpi besar itu adalah semacam ini. Esok saat 2018, hampir semua warga negara akan masuk sebagai peserta BPJS kesehatan. Mereka konon akan mendapatkan pelayanan standar  yang sangat memuaskan. Di tingkat primer, masyarakat akan dilayani oleh dokter BPJS tingkat primer dengan sistem kapitasi. Semacam dokter keluarga, dengan rasio 1 dokter akan melayani 3000-4000 pasien. Bila pasien sakitnya membutuhkan pelayanan kesehatan lebih, mereka akan dirujuk ke tingkat sekunder setingkat kabupaten atau tersier di tingkat provinsi. Pokoknya pasien tahu beres deh, seberat apapun penyakitnya terdapat sistem yang akan siap melayaninya. Wuih.....keyen....! katanya. Di pihak dokter tak kalah memukau. Dokter yang menangani kapitasi di tingkat primer konon akan dibayar 6000-10.000/kepala/ bulan. Coba kita sedikit hitung-hitungan. Katakanlah dokter melayani 3000 kepala dengan insentif paling kecil 6000, maka tiap bulan ia mendapatkan = 3.000x6.000=18 juta. Whoa!! bagi dokter puskesmas yang setiap bulan mendapat gaji 3 juta dan praktik pribadi yang tak begitu ramai, itu jelas uang besar. Bagaimana dengan dokter di tingkat rujukan? logikanya bila di primer saja dapat segitu, lebih-lebih di tingkat rujukan. Well....itu kan katanya, itu kan rekaannya.
Sedikt review ke belakang, terutama bagi teman-teman di luar kesehatan yang masih bertanya-tanya, apa sih bedanya dulu dan sistem sekarang. Dulu pelayanan kesehatan di instansi pemerintah membagi golongan pasien menjadi 4 besar; ASKES klo situ PNS, UMUM klo kamu bayar pakai kantongmu sendiri, JAMSOSTEK bagi pegawai non PNS, dan JAMKESMAS bagi orang yang oleh negara distempel sebagai "orang miskin". Kita kesampingkan dulu TNI POLRI, mereka punya mekanisme tersendiri melayani anggotanya.  ASKES berjalan melalui potongan gaji PNS, JAMSOSTEK kurang lebih sama, sedangkan JAMKESMAS tak sepeserpun keluar uang, negara memikul biaya sakit mereka melalui APBN.
Penggolongan ini jalas berimplikasi terhadap layanan, termasuk kelas perawatan, dokter, dan jenis obat yang bisa diakses pasien. Kita mulai dari pasien JAMKESMAS, mereka mendapatkan pelayanan kelas 3, obat-obat dalam formularium JAMKESMAS, dan tak bisa pilih dokter. Bagi pasien ASKES mereka berhak mendapatkan kamar perawatan sesuai golongan pangkatnya, minimal kelas II, obat dari formularium ASKES (yang tentu saja lebih baik dari formularium Jamkesmas) dan berhak memilih dokter. JAMSOSTEK obatnya bebas, asal perusahaannya membayar klaimnya. Pasien UMUM terserah semampu mereka, toh pakai uang mereka sendiri.
Lah, pembagian jenis pasien inilah mungkin yang mendorong pengambil kebijakan menciptakan JKN, mereka bermimpi semua orang lebur dalam satu wadah asuransi. Semudah itukah? apa cacatnya? Check this out...
Cobalah kita pikir logika saja, jika semua golongan itu dileburkan, dengan cara pembiayaan yang berbeda-beda mungkinkah mereka ini mendapatkan standar pelayanan yang sama? Maksud saya, sama baiknya, bukan sama buruknya. Pasti satu golongan akan dirugikan oleh golongan yang lain. Tak bisa dihindarkan.
Masalah pertama adalah pembiayaan. Apakah semua pembiayaan itu akan dibebankan pada negara dan negara secara perkasa memikul semuanya? Jangan mimpi di siang bolong, negara kita tak sekaya yang kau kira (atau mungkin lebih tepatnya tak sebaik yang kau kira). Bisa bangkrut negara mengurusi masalah kesehatan seluruh warga negaranya. Maka JKN lagi-lagi membagi sistem pembiayaannya menjadi 2, BPJS iur dan BPJS non iur.
Peserta yang dulu masuk JAMKESMAS kini jadi anggota BPJS non iur. ASKES, JAMSOSTEK, TNI POLRI menjadi anggota BPJS iur dengan potongan pad gaji mereka. Bagaimana dengan pasien di luar itu/ umum? mereka bisa menjadi anggota BPJS iur dengan menyetorkan premi sesuai dengan kelas pelayanan yang ingin didapatkan.
Dari sini saja sudah terlihat cacatnya sistem ini. tampak jelas sistem peleburan ini hanya bajunya yang ganti, diskriminasi sosial di dalamnya sama persislah dengan sistem sebelumnya, tak ada beda. Bagi masyarakat yang dulunya dengan pembiayaan UMUM tidak dikover pemerintah kecuali jika mereka membayar premi. Ini apa bedanya dengan asuransi swasta? menyoal kualitas pelayanan yang didapatkan bagaimana? Wah bisa semalamam kita membahasnya, kawan. Kedua, pemerintah setengah memaksa warganya untuk ikut BPJS ini, tahun 2018 mereka mentarget semuanya ikut. Ini juga aneh, pertanyaan dasarnya kembali saya ulang "Kesehatan itu hak atau kewajiban warga?". Jika itu hak, maka adalah tugas negara untuk memikul biaya seluruh pelayanan warganya, tak peduli miskin atau kaya, dari kantong kas negara dengan standar pelayanan yang negara bisa mampu membiayainya. Lain hal bila ingin mendapatkan pelayanan lebih, dipersilahkan menambah biaya. Ini Indonesia malah menjadikan kesehatan sebagai kewajiban negara, warga negara dipaksa ikut BPJS kesehatan dari kantong sendiri membayar premi. Logikanya ini gimana? Saya pikir bolak-balik kok saya tidak menemukan logikanya. Intinya saya katakan, seakan negara coba tampil berwajah penyelamat warga dengan asuransi nasional ini, tapi nyatanya pembiayaannya lagi-lagi dari kantong warganya. Ini tipu-tipu jika Anda menyadarinya.
Selanjutnya, bagaimana kualitas obat yang didapatkan BPJS? Saya ilustrasikan saja biar Anda sendiri ambil kesimpulannya. Dulu pasien Jamkesmas mendapatkan obat sesuai dengan onbat yang tertera dalam formularium Jamkesmas, pasien Askes mendapatkan obat sesuai dengan obat yang tertera dalam formularium Askes. Mana yang lebih bagus obatnya? yang bayar tentu mendapatkan yang lebih bagus dari yang gratisan bukan. Kemudian sekarang kedua kelas ini mendapatkan obat yang sama, yang berada dalam formularium obat BPJS. Bila dua kelas digabungkan menjadi satu, maka kemungkinannya adalah apakah kualitas obatnya sama rendahnya atau sama tingginya? Apakah pasien yang dahulunya Jamkesmas akan mendapatkan obat yang dulu sama kualitasnya dalam formularium Askes? ataukah pasien Askes yang turun derajat kualitas obatnya mengikuti pasien Jamkesmas? 
Di negara seperti ini, terlalu riskan jika Anda mempercayai kemungkinan pertama yang terjadi.

Lalu apalagi? 
Bila di tingkat primer sistem pengobatannya adalah kapitasi, maka berbeda dengan di pelayanan rujukan yang menganut sistem pembiayaan PAKET penyakit sesuai INA CBG'S. Hewan apa itu INA CBG'S? Cari sendirilah di google, biar kita sama-sama pintar bareng.
Kata pentingnya adalah PAKET. Itu artinya, klo lo Stroke, paket pengobatan loh sekian rupiah. Klo loh sakit thipus, oleh negara lo akan dibiayai sekian, soal mencret loh mendapat sekian, loh meler ingusan....dilap sendiri aja, jangan bebani negara :)
Masuk akalkah sistem paket semacam ini? Hell NO!! 
Tolong pikir ya pakai otak yang bener, semisal ada orang stroke penyubatan nih misalnya, nggak bisa dong disamaratakan kebutuhan obatnya dan lama perawatannya. Banyak faktor yang membedakan tiap-tiap individu penyakit SNH (stroke non hemorhagik/ stroke penyumbatan) seperti : seberapa luas sumbatannya, usianya (beda dong tingkat kesembuhan pada pasien tua ma yang muda), apakah disertai diabetes, hipertensi, hiperkolesterol...kan beda, atau ada ulcus decubitusnya, kan beda....atau yang satu dengan disfagia (gangguan menelan) yang satu nggak, kan ya beda.....semua dokter tahulah, mustahal menyamaratakan pasien dalam sitem paket semacam itu.
Bagi Rumah sakit, bila billing pasien di bawah jumlah Paket yang dibayar pemerintah maka RS untung. Lalu bagaimana jika billing pasien melebihi PAKET yang dibayar pemerintah, RS merugi. Darimana RS menutupi kerugiannya itu, konon dari Jasa medis dokter dan perawatnya. Implikasinya...?
Maka tak heran, bila dokter era BPJS ini seakan buru-buru memulangkan pasien karena takut billing membludak, pasien ICU buru-buru dikembalikan ke bangsal karena takut billingnya mencaplok Rumah Sakit. 
Ironis???
Ya begitu gambaran awal BPJS yang dibangga-banggakan era kepemimpinan SBY. Saat ini saya jauh dari bangga menatap kenyataan ini. Saya jauh dari optimis menatap masa depan BPJS. Di negara dimana optimisme merupakan barang mahal, riskan bagi saya bermimpi indah tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang benar-benar menjamin warganya, bukannya Meminta Premi baru Menjamin sesuai bayaran preminya.
Adakah skenario intervensi asing di balik semua ini? Apa maksudnya? 
Semoga Allah melindungi warga negara Indonesia dari kedhaliman pemimpinnya.
Amin,...

God Bless Indonesia