Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

AIR KENCING RIZA CHALID DAN PELACURAN MKD

Nama lembaga itu gagah bukan kepalang. Mahkamah Kehormatan Dewan. Institusi yang diberikan amanah menjaga martabat dan kehormatan anggota dewan seantero Indonesia. Betapa hebat kerjanya. Memastikan anggota dewan yang menjadi perwakilan segenap rakyat tumpah darah Indonesia, memenuhi janji kehormatan berpikir, berbicara, dan berlaku atas nama ratusan juta manusia Indonesia. Betapa mulia semestinya lembaga itu. Lembaga semulia itu pastinya diisi oleh manusia-manusia yang kemuliaan akhlaknya tak perlu lagi dipertanyakan. Lembaga yang menjaga marwah dewan semacam itu mestinya terisi pribadi-pribadi yang kualitas akhlaknya paling tinggi diantara semua anggota DPR. Perwakilan terbaik dari masing-masing fraksi yang dianggap paling jernih pikiran dan putusannya. Semestinya seperti itu, seharusnya semacam itu. Namun di negara dimana akal waras seringkali dianggap gila ini, segala hal semestinya teramat sering menjadi tidak mesti. Dikhianati, dibelakangi, ditelikung, dan ditikam terang-terangan.
Dugaan umum publik bahwa DPR di senayan itu kumpulan bajingan-bajingan berdasi dan berpakaian safari adalah suatu hal yang ingin dengan sungguh-sungguh diharapkan tidak demikian kenyataannya. Kita ingin berpikir DPR yang bajingan itu hanya oknum, sisanya masih banyak yang bisa diharapkan. Kita ingin berdoa bahwa anggapan DPR yang licik, culas, licin, main anggaran, dan sebagainya itu hanya rumor semata. Pikiran buruk yang dibentuk oleh sulap media. Kita ingin berpikir masih banyak anggota dewan berhati bersih yang betul-betul mengabdikan hidupnya menyuarakan hati rakyatnya, berdiri paling depan siap mati membela kita, tak silau oleh kilau pundi-pundi emas berlian yang mengucur dari tiap kongkalikong anggaran, dan yang berdiri atas nama kepentingan umum, tidak petugas penyuara perwakilan fraksinya semata.
Entahlah mungkin kita harus mulai meyakini DPR benar adanya sebagai sarang bajingan. Preman-preman nyentrik dengan otak bulus nan licik. Entahlah dengan tipu-tipu kerja MKD ini, apakah kita harus berhenti berharap ada orang baik di senayan. Apakah kita mesti berhenti beranggapan bahwa negara ini tidak dijalankan semata oleh politik transaksional. Yang didasarkan pada keuntungan fraksi, kubu, kongsi tertentu. Siapa untung berapa? Siapa dapat apa? Rasanya menyedihkan bila benar adanya politik yang berkutat di Jakarta dijalankan demikian. Kami, rakyat yang bodoh ini, menjadi penonton semata atas pertarungan sengit antar kongsi memperebutkan triliunan jatah republik yang dimasukkan dalam kantong pribadi. Dan mereka mengatasnamakan kami dalam tiap pencuriannya. Dan mereka berada disana pun atas suara kami di bilik suara. Pengkhianatan besar-besaran atas suara rakyat.
Namun, jangan-jangan ada kenyataan mengerikan lainnya. Jangan-jangan memang semua anggota dewan dalam tiap partai politik sama bajingannya. Yang satu bajingan warna kuning, warna merah, warna biru, warna jingga. Yang lain bajingan berkopiah dan berjenggot panjang. Entahlah. Jangan-jangan siapapun kongsi bisnis yang menguasai republik ini, keadaan akan tetap sama. Hanya berbeda penguasanya dan pergantian orang yang mencicipi kue haram atas nama negara.
Sejatinya kehormatan dalam MKD telah nyata dikhianati saat beramai-ramai fraksi menukar pemainnya di MKD. Ini apa? semacam pergantian pemain sepakbola mendadak? Tak pernah ada asap bila tak ada api, selalu ada sebab di setiap akibat. Jawabnya jelas, masing-masing fraksi mengganti orang-orang yang diperkirakan masih bisa menggunakan akal sehatnya dengan orang yang sepenuhnya akan menyuarakan suara bendera partainya. Sungguh kampret luar biasa MKD kita ini. Kekampretan ini tak berhenti di sini. Publik dibuat bingung mengapa persidangan Sudirman Said dan Maroef Sjamsuddin yang berposisi sebagai pelapor diadakan secara terbuka, namun persidangan Setya Novanto sebagai pihak terlapor justru diadakan secara tertutup? Akal-akalan macam apa lagi ini? Logika apa yang digunakan MKD? Ada transaksi politik besar-besarankah antara anggota MKD? Sulit rasanya untuk tidak berpikir ada kongkalikong hebat-hebatan dalam tubuh MKD, ada persekutuan jahat di dalamnya, ada jual beli di sana! Ada kompromi yang sedang menggelegar untuk menyelesaikan kasus ini secara “damai” saja. Ibarat drama teatrikal di setiap pojok polisi saat menggeret pelanggar jalan demi lembar uang. Singkatnya, sulit untuk tidak berpikir semuanya bajingan. Rasanya kasus ini akan berakhir sesuai dugaan. Setya Novanto tetap menjadi ketua DPR dengan harga pelacuran MKD. Dan kita, lagi-lagi rakyat yang bodoh ini, menjadi makin linglung bagaimana mekanisme kehormatan negara ini dijalankan.
Episode berikutnya yang menarik adalah soal Riza Chalid. Sang taipan minyak, cukong besar perminyakan Indonesia. Menjadi pertanyaan serius adalah, saat Sudirman melapor dan ditengarai ada keterlibatan Riza Chalid, mengapa tidak ada pencekalan ke luar negeri? Mengapa dalam pengaduan Sudirman Said ke Jokowi-Kalla sebelum kasus ini dibawa ke MKD, negara tidak mencekalnya dengan segala alat polisi dan TNI yang dimilikinya? Mengapa negara sepertinya tutup mata dan seakan membiarkan Riza Chalid terbang ke luar negeri, bersantai di suatu pojok bumi berleha-leha sementara seluruh media Indonesia ramai membicarakannya? Kebodohon macam apa ini yang diperlihatkan negara? Jawabannya negara tidak bodoh, lembaga negara pun berhitung saat akan berurusan dengan sosok Riza Chalid. Alih-alih konfrontasi langsung dengannya, pemerintah justru memberikan bola panas ini ke MKD. Pemerintah ingin cuci tangan dan mengadu Riza Chalid dan MKD. Biarkan saja MKD kebingungan, bukan soal mudah berurusan dengan mantan bos PETRAL ini. Riza Chalid bukan sosok kemarin sore. Ia adalah legenda taipan minyak Indonesia. Gurita yang bahkan namanya seringkali tidak berani diucapkan secara langsung. Meski sedemikian besar, Riza lebih banyak diam dan bergerak dalam gelap. Ia membiarkan dirinya hanya sebagai tokoh antara ada dan tiada yang beraksi di belakang layar besar pertikaian politik Indonesia.
Sepak terjang Riza sebenarnya memiliki sejarah yang lama. Sejak era cendana konon ia begitu dekat dengan salah satu putra mahkota, Bambang Trihatmojo. Di era Cikeas ia bertahan dan konon makin jaya. Dikabarkan Cikeas meminta sekian dolar untuk setiap barel minyak yang diimpor secara monopoli oleh Riza. Konon Hatta Rajasa sebagai Menko Ekonomi saat itu, berjabat tangan erat dengan gembong mafia migas tersebut bekerjasama untuk melenggangkan keabadian monopoli impor migas. Konon Hatta menolak pembuatan kilang minyak agar Riza tetap mengumpulkan pundi-pundi uang yang dibagi bersama. Dalam pemilihan presiden kemarin, konon Riza mendukung Prabowo dengan support dana 500 Miliar. Dengan adanya Hatta di samping Prabowo, tentu diharapkan permainan lama yang telah bergulir dapat dilanjutkan. Konon Riza juga bermuka dua, pada kubu Jokowi ia pun menanam dana meski tak sebesar Prabowo. Namanya juga pedagang, ia memikirkan segala kemungkinan yang ada. Riza ini, tak terbantahkan, lintah bagi republik ini!!
Lalu sekarang Riza di antah berantah. Rasanya bohong bila negara tidak mengetahui keberadaannya. Yang lebih mendekati kebenaran adalah seluruh pihak saling cuci tangan untuk menyeret dia ke Indonesia. Sebab bila Riza bersuara, bisa gawat jadinya. dari mulutnya, bila dia nekat, segala skandal tiap kubu dapat diungkap dan dibentangkan terang-terangan. Itulah Riza, ia tak ingin mati sendiri tentu saja. Kini Riza dengan santai mengencingi negara ini dengan ketidakmampuan negara menghadirkannya dalam persidangan, meski sekedar jadi saksi. Riza membuat negara ini mandul. Negara dengan segenap aparaturnya dikalahkan oleh seorang individu bernama Riza. Gembong mafia migas. Negara mempertontonkan kemandulannya pada segenap anak bangsa tumpah darah Indonesia. Ini memalukan, sangat memalukan semestinya. Tapi di negara ini, rasa malu sepertinya memang tak perlu lagi dimiliki.
Negara ini tak berkemaluan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar