Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (1)

Tak dapat disangkal, bagi beberapa pemujanya Soekarno masih semacam dewa. Posternya yang sedang berteriak lantang dengan tangan mengepal tak sulit ditemukan. Dengan balutan jas saku empat berkerah sedikit lebih tinggi dan kopiah hitam yang bertengger di atas wajah rupawannya, figur Soekorno masih mampu menyihir jutaan rakyat Indonesia hingga detik ini. Soekarno semacam “gold standard” tipikal pemimpin yang semestinya dimiliki republik ini. Ia dijadikan simbol kata revolusi yang tak kenal mati. Ia dijadikan panutan bagaimana orator menggerakkan massa, menjadikan kata sebagai senjata. Singkat kata, bila ada dewa yang dilantik dari warga Indonesia, Soekarno adalah kandidat pertama.
Dibanding Soekarno, Hatta adalah nama yang sayup-sayup saja terdengarnya. Disandingkan dengan Soekarno, Hatta seakan tak ada baunya. Kalah kelas, kalah popularitas. Orang mengingatnya sebagai nama yang mengiringi nama besar Soekarno. Sebagai embel-embel yang menempel pada keagungan yang diperTuanAgungkan Soekarno. Sekedar orang kedua yang menemani Sang Proklamator, Sang Penyambung Lidah Rakyat, Sang Pemimpin Besar Revolusi. Sebagai orang berkacamata yang tampak pintar dan selalu menemani Soekarno pada era revolusi. Singkat kata, Hatta semacam simbol “The Second Men” yang tampak tak terlalu berguna.
Apa mau dikata, begitulah hukum dunia berlaku. Tak ada tempat untuk orang kedua yang selalu di bawah bayang-bayang aktor utama. Dan Soekarno memang pandai memerankan diri menjadi tokoh sentral dalam wayang zaman kemerdekaan. Ia sadar betul wajah rupawannya akan semakin mematikan racunnya bila dicampur kemampuan orasi yang menyala-nyala. Ia permainkan tinggi rendah suara, penekanan dengan ketukan sempurna, diksi yang teliti untuk merampas emosi dan jiwa para pendengarnya. Dan sayangnya Hatta bukanlah tipikal orator yang baik. Tulisan-tulisannya di surat kabar yang runtut, ilmiah dan sekaligus kental dengan aroma nasionalisme tak diimbanginya dengan kemampuan yang cakap berorasi. Terlebih bila lawannya adalah Soekarno Sang Singa Podium, orator ulung pun tampak amatir pada zaman itu.
Hatta lahir dari tanah yang istimewa, Bukittinggi Sumatera Barat. Tanah para pejuang Paderi di bawah komando jihad Imam Bonjol. Tanah para syuhada bersorban yang bersimbah darah menjemput ajal atas penjajahan Belanda yang berlaku zalim atas tanah nenek moyang. Tanah tempat asal niatan memperbaiki syariat islam yang tercemar adat judi, madat, mabuk, zina, dan sabung ayam. Tanah yang kental warna hijaunya islam, yang tak pernah kering melahirkan tokoh islam nasional, H. Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Buya Syafi’I Ma’arif, dan banyak lainnya. Hatta lahir dari keluarga islam kuat. Dari garis keturunan ayahnya dapat ditarik rentetan panjang darah ulama. Ulama-ulama yang berkhidmat pada Imam Bonjol, yang ilmunya bukan ilmu abal-abal, Ilmu islam yang langsung ditimbah melalui perjuangan rantau di Mekkah Al-Mukaromah. Sebegitu kentalnya budaya islam dalam keluarga Hatta, hampir saja sejarah tak akan mengenal dia sebagai wakil presiden pertama, sebab sejak belia Hatta sudah direncanakan untuk menjadi ulama dengan merantau ke Mekkah seperti sanak saudara yang lainnya.
Hatta dididik dan dibesarkan dalam keluarga yang begitu taat menjalankan syariat. Selain bersekolah di sekolah Belanda, sore harinya Hatta belajar mengaji dan ilmu islam pada berbagai ulama di surau. Pondasi islam begitu penting dalam kehidupan Hatta selanjutnya. Saat ia telah sampai di Belanda untuk kuliah di Handels Hogeschool Rotterdam jurusan ekonomi dan kemudian aktif dalam organisasi pergerakan Indische Vereneging, ia tetap teguh menjalankan kemuslimannya. Selama hampir 11 tahun di Belanda sejak ia berusia 19 tahun, tak sekalipun, tak seteguk pun ia menenggak alkohol seperti lazimnya sarjana-sarjana lain Indonesia yang tergelincir budaya barat. Lebih dari itu, Hatta tetap menjaga sholat dan puasanya di tengah kehidupan asing negeri kincir angin. Persoalan tidak minum alkohol ini sepertinya sepeleh, tapi di tengah hidup priyayi-priyayi Indonesia yang mulai terbiasa dengan alkohol, keteguhan semacam itu sungguh mahal harganya. Meski selanjutnya ia tak begitu menujukkan warna hijaunya dengan memasuki partai hijau Masyumi, secara pribadi Hatta adalah buah dari pohon yang hijau.
Dibandingkan dengan Hatta, akar keislaman Soekarno tidaklah tajam menghujam. Dengan ayah seorang priyayi menengah yang penuh sesak adat Jawa dan ibu seorang wanita Bali yang beragama Hindu, bisa dibayangkan kadar keislaman seperti apa yang membesarkan Soekarno. Ia tak pernah secara khusus mendapatkan ajaran mengaji atau ilmu agama dari ulama. Satu-satunya persinggungan dia dengan pendidikan islam mungkin adalah saat Soekarno menjadi murid sekaligus anak kost H. Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya, tokoh nasionalis priyayi yang menunjukkan dengan terang-terangan pembangkangannya terhadap Belanda. Tjokroaminoto meskipun melahirkan organisasi penting Sarekat Islam (SI), bukanlah seorang islam yang lahir dari budaya santri ulama, ia mendefinisikan ulang islam priyayi yang abangan menjadi sedikit miring ke kanan. Hanya sedikit saja, akar Jawanya terlalu kental untuk ia bongkar. Soekarno sama halnya dengan Tjokroaminoto. Dalam perkembangan selanjutnya, tampak jelas abangan Soekarno. Alih-alih merapat pada Masyumi, Soekarno lebih memilih mencari pendukung dari Partai Komunis Indonesia dan membubarkan Masyumi dengan M. Natsir sebagai ketuanya. Soekarno meskipun berulangkali menyabdakan manunggaling NASAKOM (Nasionalisme Agama Komunisme), sesungguhnya ia khilaf bahwa agama dan komunisme terlalu konfrontatif untuk disatukan. Soekarno adalah merah, ide-idenya mengenai sosialisme komunisme mengebiri paradigma terhadap agama islam yang dianutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar