Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

PESTA DOSA PILKADA KITA, MARI RAYAKAN TIPU-TIPU INI

Esok pagi, ya esok pagi. Bahkan mungkin saat ayam jantan belum menyelesaikan kokoknya. Bahkan saat fajar belum menyelesaikan gilirannya, tanah kita akan banjir dosa. Sekian juta orang akan secara berjamaah mendosa. Menjadikan malaikat pencatat dosa akan sangat sibuk saat itu. Menjadikan langit murka dan jengah pada manusia di bawahnya. Manusia-manusia yang dengan entengnya tidak merasa bersalah saat menjual suaranya dengan lembar rupiah. 
Esok pilkada serempak akan digelar. Esok pula dengan kompak sebagian besar calon akan menggelar serangan fajar rupiah berlembar-lembar. Konon nominalnya sekitar 50-100ribuan untuk satu suara. Sangat lumayan untuk orang yang penghasilan perhariannya hanya cukup untuk beli nasi bungkus di warteg. Esok kita akan menjadi pendosa bersama-sama. Si pemberi uang berdalih bahwa pemberian ini bukan money politics, justru ini adalah sedekah untuk mengganti waktu yang terbuang tidak bekerja demi mencoblos di bilik suara. Si penerima tidak merasa uang pemberian semacam ini haram hukumnya. Ia bepikir uang semacam ini sangat wajar dan sah-sah saja diterima. Uang ini adalah bentuk terima kasih dari calon kepala daerah pada simpatisannya. Uang yang sangat halal tentunya untuk diterima, begitu pikir mereka, terlebih lagi bila uang itu digunakan demi kepentingan keluarga, "Apa salahnya?"
Apa salahnya? dimana dosanya?
Entahlah bagaimana menjawab pertanyaan semacam itu pada masyarakat yang telah permisif dengan segala keburukan akhlak dan yang subhat. Sulit rasanya harus menjelaskan darimana. Dunia kita saat ini menjadikan sesuatu yang jelas berdasarkan syariah, dikabur-kaburkan, dibengkok-bengkokkan, dicari-cari alasan untuk tidak menganggap kejelasan itu sebagai hal yang mesti untuk diikuti.
Entahlah dunia semacam apa yang kita diami saat ini. Uang sogokan pembeli suara dibilang sedekah. Uang sogok dipelintir menjadi uang yang mulia. Pendosa tidak mau dibilang pendosa. Mereka bahkan membengkokkan tindakan dosa menjadi suatu amalan yang layak dipuji. Entahlah, di dunia yang makin kabur batas antara kebaikan dan keburukan ini, sepertinya menegakkan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah adalah juga suatu keanehan. Berlaku benar akan terkucilkan dalam mainstream yang permisif dengan kebobrokan. Seorang yang mencoba tetap benar dianggap tidak waras, gak umum, sok suci, dan lainnya. Sedih? tentu saja. Dan dunia akan semakin kejam membuang para idealis ke pinggiran.
Esok langit indonesia akan murung. Esok langit menatap sinis dagelan politik manusia-manusia Indonesia yang bertransaksi suara. Esok miliaran rupiah akan mengalir dan masuk kantong jutaan pemilih, dibelanjakan, dan menjadi makanan haram bagi diri dan keluarga. Esok bahkan langit akan mencatat, sebagian kita akan bilang "Persetan!", yang penting bisa makan. Esok langit akan mencatat calon pemimpin daerah berkoar "Peduli setan!", yang penting saya mendapatkan jabatan. Esok Indonesia pesta pora dosa dan kita sama sekali tidak menyadarinya.
Demi apa semua money politics ini?
Demi jabatan memimpin suatu daerah?
Demi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari perhitungan?
Demi berlama-lama dihisab perbuatan memimpinnya, detil demi detil dan dihitung balasannya?
Demi peluang yang lebih besar masuk dalam neraka yang lebih hebat levelnya dan lebih lama di dalamnya?
Demi apa?
Demi dianggap hebat karena menjadi pemimpin?
Demi agar orang lain tunduk di bawah titahnya?
Demi menyelamatkan harta keluarga dan korporasinya?
Entahlah dengan Anda, tapi bagi saya terlalu berat konsekuensi yang harus diemban untuk kursi kepemimpinan.
Ilustrasinya semacam orang yang membayar tiket sangat mahal demi mendapatkan kesempatan yang lebih besar agar dijebloskan dalam neraka. Sangat tidak masuk akal.
Entahlah. Kadang sulit juga memasuki alam pikiran orang yang tak lagi menjadikan surga dan neraka sebagai suatu keyakinan yang diamininya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar