Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (3) -KAUM INTERNIR, BERJUANG DAN DIBUANG-

Tahun 1933 suhu politik nasional kian memanas. Belanda menyadari pergerakan partai-partai politik semakin intensif, massif, dan terstruktur. Di mana-mana terdapat rapat anggota partai dengan ideologinya masing-masing. Mesin pendidikan politik bekerja siang malam untuk mencerdaskan watak manusia Indonesia. Membuka matanya yang selama ini buta bahwa negeri ini bagaimanapun juga harus merdeka. Terbebas dari otorisasi manusia asing dari negeri kincir angin. Benar!! Periode itu bahkan untuk berjuang merdeka pun belum ada kata sepakat. Ingat! Segelintir bule Belanda itu bisa memperkosa Nusantara dari Sabang sampai Merauke selama ratusan tahun, bukan sebab mereka kuat. Itu karena Nusantara menyediakan para pengkhianat dan penjilat dengan jumlah melimpah untuk mengabdi pada mereka. Suasana makin genting tahun 1933 saat polisi-polisi Hindia Belanda semakin banyak disebar untuk memata-matai dan membubarkan segala macam rapat yang mengobarkan nasionalisme. Puncaknya pada penangkapan Soekarno, Agustus tahun itu. Rakyat berduka mengingat nasib yang akan ditanggung Soekarno.
Internir! Dibuang dan diasingkan dari akar rakyat yang mendukungnya! Internir! Kata itu menjadi semacam senjata untuk menakut-nakuti pemimpin pergerakan manapun. Belanda mengira ancaman itu sudah cukup ampuh menggertak. Tapi tidak tentu saja, pemimpin-pemimpin Indonesia sudah sangat insyaf bahwa di-internir, dibuang ke tempat nun jauh dan terpisah dari keluarga, merupakan harga yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan. Mereka itu, jangankan dibuang, dibunuh pun menjadi kebanggaan mereka di hadapan rakyatnya. Maka tak ayal, gelombang penangkapan dan pembungan meluas dimana-dimana. Tokoh-tokoh Partindo pimpinan Soekarno, PNI pimpinan Hatta, Permi (cikal Masyumi) pimpinan Mochtar Luthfi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) gagasan Tjokroaminoto ditangkap. Soekarno ke Ende Flores, Hatta ke Boven Digul, nun jauh di pedalaman Papua. Soal tempat internir ini, bisa dikata Hatta mengalami hidup yang lebih sengsara. Di Ende, Soekarno hidup dengan layak. Di Boven Digul, yang memang terkenal sebagai pusatnya pembuangan pemimpin nasional, Hatta menjalani hidup prihatin terancam ganasnya malaria beserta ratusan pemimpin lainnya dari seantero Nusantara. Di Boven Digul, yang orang sebut sebagai neraka buatan Hindia Belanda.
Dalam memoarnya, Hatta tak pernah menyesal di buang ke Boven Digul. Jauh-jauh hari Hatta telah mempersiapkan hari dimana dia diangkut kapal menuju tanah orang buangan. Sebab baginya, dengan berada di sana, Hatta mendapat pengakuan sebagai pemimpin yang berbahaya oleh Belanda. Setahun lamanya Hatta di Boven. Tak ada yang berubah dengan kebiasaannya. Usianya 31 tahun saat itu dan Hatta sudah sangat terbiasa membagi waktunya dengan teliti. Jam sekian sampai jam sekian, sarapan dengan sebutir telur dan secangkir dua cangkir kopi, jam sekian baca buku, jam sekian masak di dapur, jam sekian melakukan tugas pertukangan, jam sekian menulis artikel ke majalah, dan seterusnya. Mengenai pembagian waktu, Hatta memang seperti mengidap obsesif. Dan benar, bahkan ke Boven Digul pun, buku-bukunya yang jumlahnya ratusan itu ikut juga menemaninya. Masih 16 peti besi semua isi buku yang dia bawa dari Belanda. Hatta, lelaki lurus itu, pergi ke pembuangan seperti halnya orang tamasya berkeliling kota. Tidak ada kesedihan setitik pun saat dia berpamitan pada keluarga besarnya di dermaga Tanjung Priok, tak tahu akan kembali atau tidak, tak tahu akan mati atau tidak, Hatta insyaf di-internir tak lebih dari konsekuensi jalan yang dia pilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar