Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2015

MOHAMMAD HATTA,TAK SEKEDAR ORANG KEDUA (2)

Dipenghujung tahun 1959 Hatta memilih berpisah dengan Soekarno. Ia lebih memilih menyingkir dari istana dari pada menyimpan terlalu lama lara. Masyarakat gempar, sebagian besar tak mampu menyembunyikan kecewa. Dwi tunggal Soekarno-Hatta telah retak. Kedua putra yang digadang sebagai harta terbaik bangsa menempuh jalannya masing-masing. Soekarno dengan kepemimpinan yang mulai merasa dirinya sebagai pusat alam semesta. Hatta dengan pendirian kokohnya bahwa Soekarno telah salah memilih jalan. Hatta, lelaki pendiam itu, merasa lebih baik pergi daripada berbicara pada kepala batu. Sesungguhnya bagi yang memahami sifat dasar keduanya, perpisahan di ujung 1959 itu hampir pasti terjadi, Just a matter of time. Hatta memiliki kepala yang tak kalah kerasnya dari Soekarno bila itu menyangkut prinsip. Ia tak kenal kompromi pada yang tak taat aturan.
Strategi politik Soekarno melalui yang terbaca dalam PNI (Partai Nasionalis Indonesia) semua berkutat mengenai dirinya. Soekarno menjadikan dirinya sebagai aktor tunggal dimana simpatisan lain wajib berorbit padanya. Model politik yang ditempuhnya sangat rapuh, terlalu leader-dependent. Soekarno lupa bahwa kemampuan penggerakkan massa melalui agitasi-agitasi orasi yang membakar, pada intinya lemah. Maka benarlah saat Soekarno diringkus dan dijebloskan penjara Sukamiskin, serta merta PNI tiarap. Tak ada kader yang bisa menggantikan fungsinya. Alat politik terlalu bergantung padanya.
Hatta, di sisi lain, menyadari betul hal ini. Hatta sadar mesin politik yang baik adalah mesin politik yang tak surut dengan pembuangan pimpinan partai politiknya. Politik harus terus menerus bekerja dengan amunisi kader yang melimpah. Mati satu, tumbuh pengganti seribu. Bukan pemimpinnya yang penting, tapi tujuan yang hendak dicapai partai politik itulah yang lebih penting. Sikap Hatta tercermin jelas pada pembentukan partainya, PNI baru (Pendidikan Nasionalisme Indonesia). Pendidikan dan bukannya partai. Suatu penamaan yang sempat mendapat cemooh dari garis perjuangan lain yang merasa lebih radikal, lebih non koperatif. Setengah mengejek Hatta yang menggunakan kata “Pendidikan” sebagai singkatan PNI baru. Hatta menjawab dengan lugas dalam surat kabar Daulat Ra’jat.
“Organisasi kita, kaum Daulat Rakyat, bernama Pendidikan Nasional Indonesia. Pendidikan! Bukan atau belum lagi partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “Pendidikan”, melainkan dengan sengaja. Orang yang kurang paham menertawakan perkumpulan kita sebagai “sekolah-sekolahan”. Baik, kita tidak akan berkecil hati atau marah. Memang kita mau “bersekolah” dahulu, bersekolah untuk membentuk budi dan pekerja, bersekolah dalam memperkuat iman.”
Tulisan tersebut dibuat Hatta pada tahun 1932, saat usianya 30 tahun, selang satu bulan sejak sekembalinya dia dari belajar 11 tahun di Belanda. Ya, 30 tahun dan dia sudah menjadi pemimpin nasional yang disegani. Hatta adalah generasi terpelajar pertama yang dimiliki republik ini. Generasi yang berada pada puncak menara gading keterpelajaran. Hatta dihasilkan oleh pendidikan Belanda langsung dari sumbernya di Rotterdam. Ia terbiasa melahap habis buku-buku tebal textbook ekonomi dan menjalani ujian tentamen langsung dengan professor terpelajar di Belanda. Saat Hatta tiba di Tanjung Priok, jumlah buku yang dia bawa sebanyak 16 peti besi! Dibutuhkan tiga hari lamanya menyusun keseluruhan bukunya dalam almari. Hatta pecandu membaca buku, sangat mencandu. Ia menyediakan jadwal khusus di tiap harinya, jam-jam untuk membaca buku, jam dimana Hatta tak ingin diganggu. Dengan kualitas keteraturan hidup yang dia jalankan ketat, tak mengherankan bahwa saat usianya 25 tahun, Hatta menjadi salah satu pemimpin sidang “Liga menentang Imperialisme dan penindasan Kolonial” di Brussel pada tahun 1927.
Dalam Indische Vereneging, Hatta begitu kuat menancap. Melalui organisasi itu, Hatta suarakan keliling Eropa untuk kemerdekaan suatu negeri bernama Indonesia. Hatta kampanyekan tak kenal henti, meski akhirnya dia pernah dijebloskan dalam penjara, Hatta sama sekali tak gentar. Dalam pledoinya yang berjudul tegas, “Indonesia Vrij/ Indonesia Merdeka” ia dengan tanpa gentar menyerang kesewenang-wenangan negeri Belanda atas Indonesia, tepat di jantung negeri kincir angina itu, di bawah tatapan para hakim yang siap menjatuhkan sanksi penjara lebih kejam. Hatta adalah orang yang tak sudi menelan ludah sendiri. Sekali dia berkata dan berjanji, maka dengan segenap jiwa akan ia usahakan untuk memenuhinya. Suatu ketika Hatta pernah berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Janji yang terlalu keras kepala. Andai sejarah tak mengijinkan Indonesia merdeka dalam masa hidup Hatta, bukankah ia tidak akan pernah menikah. Namun begitulah Hatta. Cinta pertamanya adalah pertiwi ini. Kemerdekaan pertiwi menjadi cita-cita yang ia impikan siang malam. Tak jemu berkorban, tak surut semangat, tak kenal patah arang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar